Opini

Polarisasi Politik Kita

71
×

Polarisasi Politik Kita

Sebarkan artikel ini

BERITABANGSA.COM Pemilu Presiden masih dua tahun lagi. Tapi deklarasi dukungan sudah marak. Media sosial, pepohonan, dan tiang reklame, penuh sesak dengan wajah berjargon.

Bagi yang tidak berkepentingan, jarak menuju pemilu itu masih jauh dari pandangan. Tapi bagi para politisi, jaraknya sudah sedekat gelap dan terang dalam kedipan mata.

Scroll untuk melihat berita

Inilah Indonesia hari ini, tidak bisa lepas dari budaya politik demikian setiap menjelang momentum yang bernama pemilu. Meneruskan apa yang sudah lewat sekalipun tidak layak pada hari ini. Mengabadikan polarisasi masyarakat pada wajah politik sebelumnya yang berwajah muram.

Keberadaan politik sebagai realitas akbar dari keberlangsungan demokrasi mempunyai peran penting dalam menentukan berlanjut dan maju tidaknya sebuah negara. Karenanya, sangat dibutuhkan politik yang sehat dari para pekerja politik dan penggembala demokrasi.
Baik mereka yang ada di birokrasi, maupun dari mereka yang ada di partai politik.

Meski demikian, politik yang sehat harus lebih diutamakan daripada sekadar politik yang cenderung mengedepankan kepentingan.

Sehingga politik tidak hanya jadi sumbu konflik sebagaimana dalam sejarah politik nasional dalam beberapa dekade terakhir. Di mana polarisasi masyarakat karena perbedaan pandangan politik, harus saling amuk hingga meregang nyawa.

Perawat Keterbelahan

Kita sama-sama tahu, bahwa yang paling menonjol sejak pemilu presiden 2014 sampai 2019, adalah politik identitas yang berdampak pada keterbelahan masyarakat.

Polarisasi politik melalui identitas suku, ras, hingga agama, dipakai semata untuk kepentingan meraup suara massa, sehingga kepentingan publik terabaikan.

Mungkin wajar saja menggunakan politik identitas untuk meraih kemenangan politik selama itu tidak membahayakan bagi masyarakat. Namun sangat ironis bila justru sebaliknya, karena keterbelahan yang terus dipupuk dan dirawat akan cenderung menjadi bumerang bagi masa depan demokrasi kita.

Hasil survei Litbang Kompas terbaru menunjukkan tentang bagaimana wajah perpolitikan nasional. Khususnya tentang polarisasi politik di masyarakat yang terus meruncing sejak pemilu 2019.

Hal ini seakan sengaja diperkeruh dan dirawat secara sadar oleh orang-orang yang berkepentingan sampai pada pemilu presiden mendatang.

Pada hasil survei tersebut menunjukkan, 36,3% responden mengatakan bahwa orang-orang yang masuk di dalamnya untuk memperkeruh dan merawat keterbelahan politik masyarakat dalam situasi demikian adalah influencer, buzzer, dan provokator (Litbang Kompas : 06/06/22).

Sebanyak 21,6% responden mengatakan, bahwa selain para buzzer atau influencer, informasi yang tidak lengkap hingga hoaks juga menjadi faktor yang menyebabkan runcingnya polarisasi politik di masyarakat terus terawat.

Faktor lain yang menjadi penyebab utama keterbelahan berlarut yakni kurangnya peran tokoh dalam meredakan perselisihan (13,4%), teknologi media sosial (5,8%), mementingkan kepentingan pribadi (4,6%), dan minimnya semangat persatuan (2,1%).

Melihat hasil survei ini, kita bisa tahu bahwa ada orang yang sengaja merawat keterbelahan di masyarakat. Dengan cara terus menerus, memproduksi konten-konten di segala macam media sosial untuk memancing respon serta reaksi negatif.

Alarm Demokrasi

Terkait dengan persepsi responden mengenai kondisi politik mutakhir, ini menjadi alarm bagi demokrasi Indonesia. Sebab banyak responden yang mempersepsikan bahwa keterbelahan masyarakat akibat polarisasi politik ini bahaya bagi demokrasi.

Dalam survei tersebut, menunjukkan bahwa keterbelahan akibat perbedaan pilihan politik yang terjadi sejak pemilu presiden 2019 akan merusak iklim demokrasi. Apalagi ini bisa dipastikan akan berlanjut pada pemilu 2024 mendatang.

Sebanyak 79,1% responden sepakat bahwa polarisasi politik dan keterbelahan masyarakat itu bisa merusak demokrasi. Selanjutnya, hanya 16,7% responden yang menilai keterbelahan yang terjadi antara pendukung tak akan merusak demokrasi, dan sebanyak 4,2 persen memilih tidak tahu.

Selain itu, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), juga menyebutkan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran sejak (pemilu presiden 2014) sembilan tahun terakhir. Hal ini disampaikan Pendiri SMRC dalam program Bedah Politik bersama Saiful Mujani episode “Calon Presiden Tanpa Ambang Batas?” yang tayang di kanal Youtube SMRC TV, Kamis (12/5/2022).

Selanjutnya, merujuk pada data Freedom House, menunjukkan skor demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dari 65 pada 2013 menjadi 59 pada 2022. Demikian kata Saiful Mujani dalam acara “Demokrasi Makin Mundur? Refleksi 24 Tahun Reformasi” yang disiarkan Youtube SMRC TV, Selasa (17/5/2022).

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, tantangan Indonesia ke depan yang paling harus dijaga adalah perihal efek negatif dari polarisasi masyarakat akibat perbedaan pandangan politik.

Karena sejarah demokrasi kita, punya catatan panjang tentang luka politik yang berdampak fatal pada ketenteraman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dari itu, bagi para politisi dan para tokoh yang dianggap layak sebagai putra terbaik bangsa.

Harus bisa menjadikan pemilu 2024 mendatang sebagai momentum untuk merawat ketentraman, kenyamanan, dan keamanan dalam masyarakat.
Karena diakui atau tidak, perilaku elite politik punya andil besar dalam mempengaruhi kehidupan sosial politik masyarakat yang sudah lama terbelah.

Maka dari itu, kualitas demokrasi dan politik nasional pada 2024 mendatang, tergantung pada bagaimana para elit politik juga harus bisa memerankan diri sebagai peredam dan mediator dalam penyelesaian konflik yang diakibatkan keterbelahan politik.

*) Habibullah adalah Kontributor Media Cyber: www.beritabangsa.com

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.com

>>>Ikuti Berita Lainnya di News Google Beritabangsa.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *