Opini

Demokrasi Ala Oligarki

289
×

Demokrasi Ala Oligarki

Sebarkan artikel ini
Demokrasi
Luthfi Hakim

Sistem demokrasi kita terbukti belum mampu menjamin ketaatan pada hukum. Justru sebaliknya, dengan demokrasi mempermudah kelompok kepentingan melakukan politisasi hukum. Antar kekuatan politik bahkan berkolaborasi membangun tembok besar guna menghalang kesempatan pihak lain untuk berkuasa.

Hak setiap warga negara yang telah dijamin oleh UU untuk berkesempatan menjadi kepala pemerintahan, misalnya, dihambat oleh ketentuan (political barrier) bernama presidential threshold.
Penghalang politik itu (presidential threshold) tertuang dalam Pasal 222 UU No. 7 TH 2017 tentang Pemilu, yang mensyaratkan pasangan capres dan cawapres harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR.

Scroll untuk melihat berita

Ketentuan ini mengandung dua poin pelanggaran melawan konstitusi, Pertama: Pasangan capres/cawapres harus diusulkan oleh partai politik. Kedua: Ambang batas minimal 20% dari jumlah kursi DPR.
Syarat harus diusulkan oleh partai politik telah menjadikan parpol sebagai kekuatan yang tanpa batas. Para ‘pihak kepentingan’ cukup ‘berhubungan baik’ dengan petinggi parpol, sebagai pijakan untuk membangun oligarki dengan kepala pemerintahan terpilih yang diusung oleh parpol bersangkutan.

Di sisi lain, agar perolehan kursi parpol bisa mencukupi sebagai pengusung 20%, tentu butuh modal besar. Nah, pada konteks dana besar inilah berpeluang terjadinya kolaborasi praktik oligarki untuk mendapatkan keuntungan besar secara sepihak dengan mendistorsi sebagian hak – hak rakyat di lain pihak.

Anehnya, upaya review ke Mahkamah Konstitusi atas ambang batas syarat pencalonan capres/cawapares (presidential threshold) bolak – balik mental. Padahal yang mengajukan gugatan bukan sembarangan pihak. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo adalah salah satu yang mengajukan review, tapi MK menolaknya.

Bahkan DPD RI sebagai salah satu institusi negara, turut melayangkan gugatan atas tembok besar penghalang politik bernama presidential threshold itu ke MK, agar ambang batas persyaratan pencapresan menjadi nol persen. Karena jelas, pasal 222 UU No. 7 TH 2017 bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2), 6A Ayat (5), dan 6A Ayat (2) UUD 1945. MK sebagai institusi negara digugat oleh DPD RI yang juga institusi negara, mungkin baru pertama terjadi sepanjang sejarah RI. Tapi hasilnya sama, MK menolak.

Pada gugatannya, DPD RI menuding pesidential threshold membuka peluang lahirnya calon presiden boneka – yang pada hilirnya memungkinkan kompromi-kompromi oligarki dalam mengatur kebijakan dan peraturan perundangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *