BERITABANGSA.COM-JEMBER- Pakar hukum Universitas Jember Prof. Dr. M. Arief Amrullah, menyatakan kasus di RSD. dr. Soebandi Jember, telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi (tipikor) sesuai dengan pasal 3 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang dirubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Di dalam pasal 3 menyebutkan,“setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Kata Prof Arief Amrullah, tindakan pegawai honorer RSD dr Soebandi, telah memenuhi 3 unsur dalam pasal itu.
Pertama, pegawai ini telah menerima kewenangan atau jabatan dari instansi pemerintah yakni RSD dr Soebandi, milik Pemerintah Daerah, menyalahgunakan kewenangan atau jabatan tersebut.
Kedua, yang bersangkutan sudah mengakui perbuatannya sesuai pemeriksaan oleh direksi sehingga apa yang dilakukan telah merugikan keuangan negara, dan ketiga, unsur menguntungkan diri sendiri.
“Jadi itu sudah masuk semua unsurnya dalam pasal 3 Undang-undang Tipikor,” terang Prof. Arief, kepada beritabangsa.com, Kamis (10/02/2022).
Terkait keputusan Direktur RSD dr Soebandi Jember dr Hendro Soelistijono, MM, M.Kes, yang memilih jalur non hukum atau tidak melaporkan kepada aparat penegak hukum (APH), menurut Profesor Arief justru sangat keliru.
“Langkahnya ini patut dicurigai sebagai langkah untuk melindungi kejahatan,” tegas Prof Arief.
Dalih Direktur RSD. dr. Soebandi tidak melibatkan APH dalam kasus ini setelah terduga pelaku ID berjanji, sanggup mengembalikan kerugian keuangan kepada RS pelat merah ini dibuktikan dengan surat pernyataan bermaterai.
Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember ini menegaskan meski yang bersangkutan telah mengembalikan kerugian, tidak lantas menghapuskan tuntutan pidananya.
“Itu tertuang dalam pasal 4 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tipikor,” ujarnya.
Pasal 4 menyebutkan,“pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3”.
“Itu sekadar persepsi direkturnya, justru ini kan sudah masuk ranah korupsi, meski mengembalikan keuangan negara itu tidak menghapuskan tuntutan pidananya, kalau seperti itu caranya, nanti yang lain juga akan mengikuti apa yang telah dilakukan terduga pelaku,” tegasnya.
Dia menambahkan, tujuan adanya hukum pidana untuk mencegah umum tidak melakukan hal serupa, jadi memahami hukum itu harus menyeluruh.
Prof Arief menyarankan temuan itu dilaporkan ke APH, sementara direkturnya menjadi saksi dulu.
“Nanti direkturnya jadi saksi dulu, nanti siapa yang salah kan akan ketahuan yang mana,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, ID yang memiliki kewenangan mengatur layanan BPJS Kesehatan “mengentit” pengajian fiktif obat mencatut nama pasien BPJS Kesehatan.
Setelah obat didapat ID, dia menjualnya kepada pasien umum dengan harga lebih miring. Uang hasil penjualan dinikmati sendiri. Modus ini dilakukan bertahun-tahun hingga mendapat keuntungan senilai Rp 1 miliar lebih.
Sebelumnya, seorang pegawai honorer berinisial ID, yang menempati jabatan administrasi farmasi di RSD dr. Soebandi Jember melakukan kecurangan dengan cara menjual obat dari pasien BPJS Kesehatan kepada pasien umum dengan harga miring.
Modusnya diduga dilakukan sejak 2015 menempati posisi jabatan administrasi farmasi rawat jalan. Dia satu-satunya yang memiliki akses data BPJS Kesehatan seluruh pasien di RS. pelat merah tersebut.
“Jadi karena dia bagian administrasi, dia mempunyai akses seluruh data pasien BPJS Kesehatan,, termasuk data resep setiap pasien BPJS Kesehatan obatnya sesuai penyakitnya masing-masing, nah potensi inilah yang dimanfaatkannya, jadi dia mengambil obat atas nama pasien yang terdaftar pada BPJS Kesehatan itu kan sudah tahu tuh pasien itu resep obatnya apa saja, diambil lalu obatnya dijual kepada pasien umum atau non-BPJS Kesehatan dengan harga yang miring,” ungkap sumber beritabangsa.com.
Saat diperiksa memang tidak ada yang mencurigakan, karena laporan keterangan obat-obat itu keluar atas nama pasien BPJS Kesehatan, namun tidak diberikan ke pasien BPJS Kesehatan melainkan dijual ke pasien umum.
Setelah audit tersebut, ID sudah tidak lagi ngantor di Rumah Sakit Daerah ini.
Wartawan beritabangsa.com pun berusaha mencari alamat rumah ID, dan ditemukan alamatnya di Perumahan Bumi Tegal Besar BQ nomor 17A.
Di sana rumah kosong. Tampak tidak berpenghuni. Tetangganya membenarkan ID telah meninggalkan rumah tersebut dan rumah dibiarkan kosong.
“Sekitar akhir Januari 2022 itu ada truk ngangkut perkakas rumah tangga, dan sejak itu tidak ada lagi mbak ID dan suaminya di rumah ini, biasanya kan keduanya setiap pagi kelihatan berangkat kerja,” kata tetangga ID.
Lebih lanjut, ia mengaku tidak tahu-menahu kenapa pasangan suami istri pemilik rumah itu pergi. Dia membenarkan jika ID tertutup dengan tetangga sekitar.
“Selain itu, rumah ini sempat ada tulisan dijual, namun tulisan itu mungkin jatuh entah ke mana, saya tidak tahu, saat ini tulisan dijual itu tidak tertempel lagi,” terangnya.
Direksi RSD dr Soebandi Akui Temuan

Wartawan beritabangsa.com berhasil mengklarifikasi jajaran Direksi Rumah Sakit pelat merah tesebut.
Dalam sesi klarifikasi ini, dihadiri oleh sekaligus 4 jajaran Direksi yakni dr Hendro Soelistijono, MM, MKes, Direktur Utama, drg Arief Setyoargo Wakil Direktur SDM, Artantio Wirjo Utomo, SPsi, Kasi Pengembangan SDM dan Bambang Wismadi, SSi, Apt, Kasie Pelayanan Medis, di ruang lobi Direksi, Selasa (08/02/2022) pagi.
Direktur RSD dr Soebandi, dr Hendro Soelistijono, membenarkan praktik illegal yang dilakukan ID setelah jajaran Direksi melakukan audit dan membuatkan BAP temuan itu.
“Istilahnya tidak diadministrasikan. Memang sejak Desember 2021 kita sudah ada laporan dari kepala instansinya dan akhirnya kita laksanakan audit, nilainya bukan Rp1,2 M ya, namun nilainya ratusan juta rupiah. ID sendiri pun telah mengakuinya dan tertulis di BAP,” ungkap dr Hendro.
Hendro mengaku berhasil melakukan persuasif kepada yang bersangkutan untuk bertanggungjawab mengganti nilai obat-obatan itu setelah menjual rumahnya. Hendro mengaku supaya tidak menambah masalah ID akhirnya dirumahkan alias diskorsing.
“Harapan saya, ini jangan ditulis, kalau ini ramai, yang bersangkutan malu lalu lari, justru rumah sakit yang rugi. Ini kalau diblow-up, dia akan malu, dan lari, mau dapat ikan malah nggak dapat apa-apa, ini biar kami proses dulu, nanti kalau ada apa-apa yang tidak diinginkan, Anda yang akan kami kabari pertama,” ucap Hendro kepada wartawan beritabangsa.com
Hendro mengakui sulit untuk mengetahui praktik ini karena polanya diklaimkan ke BPJS Kesehatan dan rumah sakit tidak dirugikan karena sudah entry di sistem, tapi karena kepala instalasi farmasi cukup jeli ada kejanggalan maka ditemukanlah praktik illegal ini.
Hendro tidak berani membenarkan bahwa praktik ini telah dilakukan bertahun-tahun sejak ID menempati posisi itu pada 2015.
“Kita tidak bisa mengatakan sesuatu tanpa adanya bukti, yang kami dapatkan itu selama 2021 saja, dan kami ada audit Desember 2021, selain itu kami tidak tahu menahu. Jangan rasan-rasan saja, tapi yang terbukti betul ya 2021 itu dan diakui oleh bersangkutan dan di BAP diakui bersangkutan, kami tidak berani mengatakan apa yang tidak kami ketahui,” lanjut Hendro.